Program Cerita Wayang Ramayana Bahasa Jawa
Berbeda dengan wayang Jawa, alur cerita wayang Sasak tidak terikat pada pakem. Sang dalang dapat mengeluarkan tokoh wayang kapan saja, tanpa. Gambar Wayang: Wayang Mahabharata 3.
Do you have the PTA02 accessory for the TV? This is a USB 3D transmitter and comes with 2 pairs of Active 3D glasses. The screen of the 40PFL8605H is not a 3D TV by itself. Once you have the accessory plugged in, you may need to wait for the software to be installed on your TV before you can watch 3D content. See the manual for the TV for more information:. This is on page 73 of the PDF.
I hope this helps. If you have the 3D accessory plugged in, try turning off the TV and turning it back on if the software did not install properly. The final thing to check is the 'codecs' for your 3D movies on the USB stick.
Make sure that they are compatible with the TV. Cindy Wells Apr 19, 2013.
Portable Hard Drive USB 2.0/FireWire (Silver Series USB/FireWire) User's Manual: HTML - users's manual 717KB zipped HTML - PDF 943KB -Oct 31, 2010.
Dalang, Pengrawit, Pesinden, Tukang Becak Hingga Presiden Boleh Baca Ini Ki Jlitheng Suparman (Makalah ini disajikan dalam Sarasehan Dalang Wonogiri di Plaza Gajah Mungkur Ngadirojo, 14 Nopember 2009) Manusia berkesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai wahana memperoleh pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka estetika dan etika merupakan dua aspek yang kuat menandai keberadaan salah satu unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian.
Estetika adalah ilmu pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan perihal kebaikan. Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan. Namun sebenarnya istilah tontonan dan tuntunan maknanya tidak sama persis dengan estetika dan etika. Tontonan dan tuntunan adalah sebuah konsep pemikiran yang terjemahannya cenderung mendangkalkan makna estetika dan etika.
Tontonan lebih bermakna sebagai hiburan, tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman. Hiburan lebih berarti sebagai wahana pencapaian kesenangan, yakni kepuasan atas hasrat inderawi, tidak sampai kepada wilayah jiwani. Sedang tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman yang bersifat normatif dan statis.
Maka istilah tontonan dan tuntunan bila tidak disikapi secara hati-hati justru akan menjebak pelaku seni pada kegiatan kreatif yang hanya bersentuhan dengan hasrat inderawi dan penyampaian pesan nomatif secara vulgar. Perilaku kreatif yang demikian sulit rasanya melahirkan bentuk kesenian atau seni pertunjukan yang mampu memberikan daya rangsang penghayatan yang bersifat jiwani atau pencerahan. Sebab tontonan hanya memberi kepuasan inderawi dan sesaat; tuntunan cenderung menyampaikan nilai-nilai secara verbal dan vulgar atau menggurui. Kesenian yang mampu memberi pencerahan adalah kesenian yang tidak menggurui. Penikmat atau penonton dibiarkan menafsir dan menangkap pesan makna sesuai dengan latar dan kemampuan masing-masing.
Seseorang yang berlatar profesi sebagai guru dengan seorang petani niscaya akan memiliki tafsir yang berbeda atas pesan makna yang disampaikan oleh sebuah seni pertunjukan. Maka jaman dulu pagelaran wayang kulit selalu ditutup dengan golekan ‘sajian wayang golek’, yang konon artinya penonton diminta mencari sendiri makna cerita yang digelar oleh dalang semalam suntuk.
Dari fenomena golekan tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa seni pertunjukan wayang kulit di masa lalu memang tidak menggurui, tetapi menyampaikan pesan melalui struktur lakonnya. Bagaimana dengan perkembangan kondisi pertunjukan wayang kulit dewasa ini? Mampukah ia memberi pencerahan kepada masyarakat penontonnya?
Kesenjangan Komunikasi Kemampuan seni pertunjukan wayang (baca: wayang kulit purwa) sebagai media pencerahan dewasa ini agaknya memang perlu dipertanyakan. Keraguan itu bukan tanpa alasan. Betapa saat ini telah terjadi kesenjangan komunikasi antara penonton dan pertunjukan wayang. Artinya bahwa penonton tidak mampu menangkap apalagi mencerna cerita yang dibawakan oleh dalang.
Kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidak-pahaman tersebut bukan semata-mata karena faktor bahasa, yang mana masyarakat kita terutama generasi muda makin asing dengan bahasanya sendiri, melainkan juga karena kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang dibangun oleh kebudayaan keraton dan sedikit kebudayaan masyarakat bawah agraris. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban modern dan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaannya sendiri. Seni pertunjukan wayang yang lahir dan dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa.
Ungkapan-ungkapan dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu. Kini masyarakat kita telah berubah. Bentuk pemerintahan kerajaan bergeser ke bentuk pemerintahan republik.
Susunan masyarakat telah berubah, demikian pula cara hidup dan pola berpikir masyarakat sudah berbeda dengan masa lalu. Ketika seni pertunjukan wayang masih bertahan di dunia masa lalu apakah masyarakat sekarang masih bisa mengerti dan menghayati? Kiranya sulit bagi kita untuk memahami apa lagi menghayati sesuatu yang tidak kita mengerti. Dengan demikian jelas bahwa tujuan pencerahan yang diharapkan dari seni pertunjukan wayang nampaknya sulit dicapai. Revitalisasi Seni Pertunjukan Wayang Sampai saat ini seni pertunjukan wayang memang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Fakta itu bukan berarti menjadi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang akan bertahan selamanya. Kecuali bila secepatnya kita dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang dihadapinya, terutama persoalan kesenjangan komunikasi seperti terurai di atas.
Guna menghantar seni pertunjukan wayang agar dapat mengarungi perjalanan sejarah hingga masa depan diperlukan sebuah usaha revitalisasi. Yakni sebuah usaha yang tidak hanya sebatas menjaganya tetap hidup, namun juga bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dimaksud bukan sebatas untuk kepentingan sesaat, semisal kepentingan politik dan propaganda pihak tertentu, melainkan manfaat yang lebih besar lagi yakni membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Usaha revitalisasi itu langkah konkritnya seperti apa, kiranya kita semua juga belum tahu pasti.
Langkah awal yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kemauan untuk secara bersama-sama melakukan proses pembenahan dan perubahan menuju target revitalisasi. Upaya revitalisasi adalah usaha untuk membuat seni pertunjukan wayang agar hidup dan berdaya guna kembali sesuai dengan fungsi keberadaannya sebagai kesenian. Usaha menuju revitalisasi tersebut pertama-tama harus dipahami tentang hakekat pertunjukan wayang sebagai sebuah kesenian, tentang karakteristik dan perilakunya dalam menjaga keberadaannya. Pemahaman itu dapat kita peroleh dari mempelajari perjalanan sejarahnya. Seni Pewayangan Seni pewayangan di kalangan masyarakat umum dipahami sebatas seni pertunjukan wayang.
Namun sesungguhnya seni pewayangan sebagai media ekspresi memiliki tiga bentuk ekspresi, yakni ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa. Masing-masing bentuk ekspresi seni pewayangan tersebut masih berkembang hingga saat ini. Seni pewayangan yang berakar pada tradisi lisan adalah seni pertunjukan wayang seperti yang sering kita tonton hingga saat ini.
Di dalam bentuk seni pertunjukan ini pun terdapat beragam bentuk, corak dan gaya, yang dapat disebutkan antara lain: wayang kulit purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut menunjukkan perbedaan pada bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri kedaerahan. Seperti misalnya wayang kulit purwa bentuk bonekanya pipih dua dimensi terbuat dari bahan kulit, sumber cerita mengambil dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Jawa timur. Kemudian wayang golek Sunda bentuk bonekanya tiga dimensi terbuat dari bahan kayu, sumber cerita dari dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Barat, dan sebagainya. Seni pewayangan yang berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang.
Di era Jawa Kuno sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa Kuno), seperti misalnya karya para empu di Jawa: Kakawin Bharatayudda, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Ramayana, dan sebagainya. Di jaman kerajaan pasca era Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan karya para pujangga, seperti Serat Kandha, Serat Pustakaraja Purwa, dan lain sebagai yang jumlahnya ratusan.
Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris, seperti misalnya novel wayang “Hamba Sebut Paduka Ramadewa” oleh Herman Pratikto, “Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata, “Wisanggeni Sang Buronan” oleh Seno Gumira Ajidarma, “Pertempuran Dua Ksatria Karna-Arjuna” oleh Pitoyo Amrih, dan lain sebagainya. Kemudian seni pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan patung-patung wayang.
Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang seperti yang sering kita temui di berbagai tempat. Seni pertunjukan wayang adalah media ekspresi yang didalamnya terdapat beragam unsur seni yang lengkap, yakni: seni sastra, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni rupa. Di samping secara struktur pertunjukannya merangkum berbagai unsur seni, dalam kisah yang di bawakannya banyak mengandung nilai-nilai ajaran moralitas, budi pekerti, maupun filsafat yang kesemuanya menawarkan nilai-nilai keluhuran. Maka tidak heran bila seni pertunjukan wayang kemudian diberi label sebagai kesenian yang adi luhung. Hakekat Dalang Seni pedalangan pada dasarnya berakar dari tradisi tutur, yakni tradisi penyampaian pesan secara lisan. Menurut hasil penelitian para sarjana, jauh sebelum seni pedalangan terbentuk, sekian puluh abad yang lalu di Jawa terdapat tukang dongeng yang disebut Saman.
Fenomena Saman ini muncul ketika orang Jawa belum mengenal tulisan atau tradisi tulis. Tugas seorang Saman adalah mendongeng tentang roh-roh leluhur sebagai bagian dari kegiatan upacara ritual keagamaan. Untuk menggambarkan secara visual roh-roh leluhur tersebut Saman membuat benda yang ketika disinari api memunculkan bayang-bayang. Dari fenomena permainan bayang-bayang inilah diperkirakan sebagai awal mula muncul istilah “wayang” yang berarti bayang-bayang. Setelah tradisi tulis muncul dan berkembang, mulailah bermunculan pustaka-pustaka hasil karya para pujangga kerajaan yang memperkaya sumber cerita masyarakat. Dalam perkembangannya, di samping Saman, muncul lagi pendongeng yang mengangkat cerita yang bersumber dari pustaka-pustaka karya para pujangga. Pendongeng tersebut disebut sebagai Wiracarita.
Baik Saman maupun Wiracarita, di dalam mendongeng melengkapi diri dengan alat bantu peraga yang kemudian disebut sebagai wayang. Entah mulai kapan, lama kelamaan sebutan Saman dan Wiracarita tersebut hilang, pendongeng yang menggunakan alat bantu peraga berupa wayang berganti sebutan sebagai “Dalang”. Dari ilustrasi singkat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa hakekat dalang adalah sebagai pendongeng. Ia menyampaikan kisah dengan dibantu dengan alat peraga wayang dan iringan bunyi-bunyian (gamelan) untuk mendukung kisah yang diceritakannya agar menjadi lebih menarik. Dengan maksud untuk meraih perhatian dan antusiasme audien atau penonton terhadap cerita dalang secara lebih besar. Besarnya perhatian dan antusiasme tersebut merupakan pintu bagi masuknya pesan-pesan nilai yang terkandung dalam cerita.
Bila kita kembalikan pada perkembangan seni pertunjukan wayang pada umumnya di masa sekarang, hakekat dalang sebagai pendongeng memang semakin tidak nampak. Posisi unsur cerita atau lakon sebagai panglima dari struktur pertunjukan wayang menjadi terbalik. Eksplorasi atau penggarapan alat peraga (wayang) maupun iringan (gamelan) lebih mendominasi sehingga melemahkan unsur cerita atau lakon yang seharusnya diperkuat oleh kedua unsur tersebut. Seloroh bahwa dalang sekarang tak lebih sekadar sebagai MC, kiranya dimaksudkan untuk mengkritisi memudarnya hakekat peran dalang sebagai pendongeng, Saman, atau Wiracarita. Dalang dinilai tidak lagi memproyeksikan diri sebagai pendongeng namun sebatas sebagai pemegang kendali pertunjukan.
Dalang tidak lagi mengidupkan wayang melainkan menghidupkan pertunjukan. Keberadaan panggungan, yakni ruang layar selebar tangan dalang merentang sebagai pusat pertunjukan, menjadi hilang tertelan oleh panggung (stage) yang mejadi ajang aktivitas dalang, pengrawit dan pesinden. Figur wayang yang rata-rata setinggi 40 sampai dengan 90 centimeter menjadi kabur oleh kemilau logam perunggu, rampaknya kostum pengrawit, dan indahnya tata rias pesindhen. Maka kesentosaan sosok Bima, kelicikan Patih Sengkuni, dan kekonyolan Buta Cakil tidak lagi dikenali penonton, yang membekas dibenak mereka adalah kesohoran nama dalang dan pesinden. Malang bagi pengrawit yang secara individu jarang tersebut namanya Istilahnya begitu sederhana: pendongeng! Namun membangun kembali keberadaan dalang sebagai pendongeng bukan hal mudah. Tekanan-tekanan dari luar merupakan salah satu faktor yang mempersulit dalang untuk kembali menjadi pendongeng.
Faktor tekanan dari luar beraneka ragam dan sangat kompleks. Pesan sponsor, trend tuntutan massa penonton, intervensi penanggap, adalah kendala-kendala kasat mata yang sulit terantisipasi.
Budaya materialisme yang makin menguat adalah kendala yang tidak kasat mata namun benar-benar menghantui keimanan para dalang. Dan masih banyak lagi kendala-kendala eksternal lain yang kiranya tak cukup ruang untuk diuraikan dalam forum yang singkat ini. Kemudian kendala-kendala dari dalam yang berhubungan dengan aspek estetik juga menjadi masalah yang cukup pelik, yang mempersulit dalang untuk dapat kembali menjadi pendongeng. Aspek-aspek: kebahasaan dan aturan-aturan (konvensi) struktur cerita maupun gending merupakan bentuk-bentuk persoalan internal yang sulit diurai dan mempersulit dalang untuk menjadi pendongeng yang komunikatif. Oleh sebab kompleksitas kendala tersebut di atas maka tidak adil bila usaha agar seni pertunjukan wayang bisa kembali kepada hakekatnya sebagai sumber pencerahan hanya dibebankan di pundak para dalang dan seniman pendukungnya. Sebaliknya fakta persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan wayang tersebut hendaknya menyadarkan para dalang untuk mau terbuka dan bekerja sama dengan pihak lain sehingga beban tugas yang begitu berat tersebut bisa dikerjakan secara bersama-sama.
Abdurrahman Wahid Kamis, 5 Agustus 2004 Semasa mengikuti pendidikan SMEP di Growongan Lor (Yogyakarta), penulis ‘indekost’ di rumah H. Djunaidi di Kauman Jogyakarta untuk 3 tahun lamanya.
Tokoh yang kemudian menjadi anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu adalah penjahit terkenal di kotanya. Penulis sendiri yang baru berusia belasan tahun waktu itu, pada pertengahan 1954 hingga pertengahan 1957, sering kali “menimba ilmu” fiqh dari beliau. Juga cara hidup beliau yang penuh degan kesederhanaan, di samping penghormatan tulus kepada para ulama baik dari lingkungan organisasinya, maupun dari Nahdlatul Ulama (NU), terasa sangat mengesankan bagi penulis pada usia formatif (pembentukan kepribadian) tersebut. Salah satu ‘kegemaran’ beliau adalah memperdengarkan rekaman radio dari pagelaran Ketoprak, yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Yogyakarta. Baru-baru ini, saat 2 hari 2 malam penulis mengulangi pengobatan matanya di sebuah tempat, penulis membawa rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno, dengan lakon/cerita “Karno Tanding”. Selama masa pengobatan itu, rekaman pagelaran wayang kulit yang terdiri dari 8 buah kaset itu “diselesaikan” oleh penulis.
Kaset terakhir, penulis dengarkan dalam cassette player yang ada dalam sistem suara (sound system) mobil. Terjadi dialog antara diri penulis, sistem nilai yang dianutnya dengan sistem nilai yang digunakan dalam kisah epic karya seorang sarjana India itu, yang penulis baca puluhan tahun yang lalu. Segitiga nilai itulah yang ingin penulis kemukakan dalam artikel ini. Dalam hal ini “perbenturan” nilai-nilai itu menjadi sangat penting bagi penulis, dan ia ingin “berbagi rasa” dalam proses tersebut.
Dahulu, seorang santri (penganut ajaran Islam yang taat pada angamanya), tidak akan “menonton” wayang kulit. Ini dialami KH. Ahmad Mutamakkin (Kajen, Pati), yang memimpin sebuah tarekat, diadili oleh “Menteri Agama” (Khatib Anom) cucu/turunan Sunan Kudus, Ja’far Shadiq. Dalam “proses pengadilan” di jaman Amangkurat IV itu, seperti diceritakan oleh ‘Serat Cebolek’ ditinjau ulang dan dijadikan disertasi doktor oleh R.
Subardi pada Monash University di Melbourne (Australia), Khatib Anom membela pendirian para ahli fiqh di paruh kedua abad ke-18 Masehi itu. “Serat Cebolek” itu bercerita tentang “dialog” dalam proses itu, yang mengemukakan bahwa KH. Mutamakkin (disebut sebagai Kyai Mutamakkin), yang menurut “versi keratin /penguasa” akhirnya kalah dan minta ampun. Dalam versi lain, yaitu Kidung yang beberapa tahun lalu dibacakan dalam Khaul/peringatan kematian beliau tiap tahun di Kajen, dihadiri oleh sekitar 100.000 orang Kyai Mutamakkin justru memenangkan atas Raja Pakubuwono II dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam hal ini, Raja tersebut justru mengikuti Suluk (teks doa-doa) dalam tarekat yang dipimpin Kyai kita itu. Salah satu ‘tuduhan’ yang diarahkan kepadanya oleh para ahli Fi’qh, adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon “Bima Sakti/ Dewa Ruci”, seperi penulis yang telah dua kali mengundang dua orang dalang (termasuk Ki Entus dari Tegal) untuk mengelar wayang kulit di dekat rumahnya, di Ciganjur Jakarta-Selatan.
Dalam rekaman “Karno Tanding” itu, dalang mengemukan bagaimana perang tanding menggunakan jemparing (panah) antara Adipati Karno dan Arjuna. Yang menarik “versi Jawa” itu mengemukakan, bagaimana Prabu Salya (mertua Adipati Karno) menghentakan kuda penarik kereta yang dikusirinya, sehingga sang Adipati Karno yang sudah meluncurkan panah Kuntawijayadanu, terpaksa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana senjata pusaka itu hanya mengenai rambut atau mahkota Arjuna, Raja Amarta.
Pada saat itu, Raja Krisna dari negara Dwarwati, menjadi kusir kereta (chariote) yang digunakan Arjuna. Ia pada saat itu meminta Prabu Arjuna, untuk melepaskan anak panahnya, senjata pusaka Pasopati. Anak panah mengenai Adipati Karna, dan ia mati seketika.
Buku mengenai tokoh-tokoh Mahabarata yang ditulis orang India itu, menggambarkan Krisna sebagai “tokoh licik” (master of deceit) yang penuh dengan tipu daya dalam menghadapi lawan. Dalam rekaman lakon yang diceritakan Ki Timbul itu, Prabu Krisna adalah seorang tokoh setia yang “jujur-jujur” saja. Kalau perbedaan dua versi ini menggambarkan bagaimana obyek dapat di “lihat’ oleh dua pendekatan budaya yang berbeda (dalam hal ini antara India dan Jawa), maka dapat dimengerti jika penulis artikel ini juga mempunyai pandangannya sendiri mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di mata penulis, KPU melakukan kecerobohan dalam persiapan pemilu tahun ini, memihak kepada peserta tertentu dan melakukan manipulasi penghitungan suara. Di mata orang lain, KPU adalah “lembaga formal/resmi” yang tidak dapat diganggu gugat.
Hal lain, yang sangat menarik perhatian penulis, adalah “pesan abadi” yang dibawakan Ki Timbul. Dalang bercerita, Arjuna menolak untuk menjadi senopati/ panglima perang kaum Pandawa.
Ini berarti, ia harus bertempur sampai mati melawan kakak lain ayah, yaitu Adipati Karno Raja Muda (viceroy) Awangga, yang menjadi Senopati Agung dari pihak Kurawa. Ada persamaan antara sikapnya itu dengan ucapan Nabi SAW: “Bukan golongan kita, orang yang tidak menyayangi kaum muda dan tidak menghormati kaum tua” (Laissa minna mallam yarham saghiranaa, walaa yuwaqqir kabiirana). Baru setelah ada laporan, bahwa Adipati Karno mempermalukan dirinya dengan melepas senjata pusaka berupa anak panah bukan untuk membunuh Wara Srikandi (istri Arjuna), melainkan hanya untuk membuat terlihat payudaranya, maka Prabu Arjuna pun langsung meminta diangkat menjadi senopati/ panglima perang kaum Pandawa. Episode di atas menunjukkan, bahwa kakuatan saja tidak cukup untuk digunakan menopang sebuah pemerintahan melainkan ada aspek lain yang harus dimiliki juga, yaitu batas-batas moral dalam penyelenggaraan kekuasaan. Tanpa moralitas yang kokoh, kekuasaan hanya akan membawa kesulitan dan keboborokan hidup bersama belaka. Kembali ingatan penulis melayang ke KPU lagi.
Pelanggarannya atas 5 buah Undang-Undang menunjukkan tidak adanya kedaulatan hukum di negeri kita saat ini. Apalagi dijalankan dengan sikap sangat arogan/sombong, yang justru”sepi” dari wawasan moral tersebut. Dalam hal ini, penulis ingat kepada firman Allah Swt “Dan jangan kalian campur adukan kebenaran dengan kebathilan, serta jangan kalian tutup-tutupi kebenaran, jika kalian ketahui” (Wa la talbisu al-haqqa bi al-bathil wa taktumu al-haqqa wa antum ta’lamu).
Demikianlah dua buah pelajaran penting yang penulis ambil dari rekaman pagelaran wayang dengan dalam Ki Timbul Hadiprajitno tersebut. Yaitu bahwa setiap masalah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan dan bahwa moralitas adalah ‘pesan abadi’ yang harus terus menerus diperjuangkan dalam kehidupan, termasuk kehidupan kita bersama selaku bangsa dan negara.
Jika ini kita lupakan, jadilah kita orang-orang yang hanya bersandar pada kekuasaan belaka, sedangkan sebenarnya ia hanyalah ‘alat’ untuk mencapai masyarakat adil dan makmur menurut pembukaan undang-undang dasar kita sebagai sebuah proses jangka panjang, yang “dituangkan” dalam perjuangan menegakkan demokrasi. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan? Huawei e3372 unlock software. Jakarta, 26 Juli 2004 – “menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama”. Ki Sukasman, Ukuran Sejati Jum’at, 30 Oktober 2009 07:46 WIB TEMPO Interaktif Suara gamelan bertalu-talu mengiringi kepergian Ki Sukasman di Mergangsan II/1308, Yogyakarta, kemarin.
Prosesi pemakamannya berubah menjadi sebuah pentas wayang. Seorang dalang–diperankan oleh penari Miroto–memainkan anak wayang Semar, Togog, dan Batara Guru di kelir dengan tata cahaya yang digarap serius.
Tepat di depan kelir, tergolek sebuah peti mati terbungkus kain putih. Di dalam peti mati itu, terbujur jenazah Ki Sigit Sukasman, 73 tahun, seorang tokoh seniman pencipta wayang ukur. Tiga tokoh wayang ukur itu memang sengaja dimainkan untuk melepas kepergian penciptanya, Ki Sukasman, ke pemakaman. Tak hanya Miroto, sebagai dalang yang menangis, tapi juga ratusan pelayat mencucurkan air mata menyaksikan adegan sangat mengharukan itu. Gendhing Tlutur yang dimainkan secara langsung oleh para murid Ki Sukasman semakin menambah suasana sedih.
“Mas Kasman telah mencapai ukuran yang sejati,” kata budayawan Sindhunata SJ saat melepas jenazah di rumah duka. Ki Sigit Sukasman mengembuskan napas terakhir kemarin pagi pukul 07.00 di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Ia sempat dirawat selama dua hari akibat keluhan sesak napas. “Beliau memang punya penyakit paru-paru,” kata Bambang Paningron, anak angkat Ki Sukasman. Ki Sigit Sukasman sejatinya bukan seorang dalang. Lelaki 73 tahun itu justru seorang perupa. Namun, kecintaannya terhadap wayang melebihi dalang mana pun.
Tenaga, pikiran, bahkan seluruh hidupnya tercurah untuk dunia pewayangan. Sejak kecil Sukasman memang akrab dengan wayang. Aktivitas harian Sukasman kecil selalu diisi dengan menggambar wayang. Ia bahkan memiliki sekotak wayang kertas, pemberian ayahnya.
Selepas SMA, pada 1957, Sukasman masuk ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Tujuannya hanya satu: mengembangkan hobi menggambar wayang. “Ternyata di ASRI tak ada pelajaran menggambar wayang,” kata Sukasman kepada Tempo, Agustus tahun lalu. Meski kecewa, Sukasman tetap meneruskan pendidikannya. Sebab, ilmu yang ia dapat di bangku kuliah dinilainya tetap bermanfaat. Sukasman tidak lagi sekadar menjiplak saat menggambar tokoh wayang. Berbekal ilmu kuliah, ia bahkan mulai berani mengubah bentuk wayang klasik menjadi wayang kreasi baru.
Gambar-gambar wayang kreasi baru itu kemudian diperlihatkan kepada Ki Prayitno Wiguno, guru Sukasman di Abiranda (sebuah lembaga pendidikan pedalangan di Keraton Yogya). “Guru saya marah.
Katanya, bentuk wayang itu sudah sempurna sehingga tidak boleh diutak-atik lagi,” kata dia, Agustus itu, kepada Tempo. Sukasman berkisah, ia tak patah semangat.
Ia bahkan mulai berani membuat wayang kreasinya itu dengan bahan dari kulit kerbau. Saat itu ia membuat tokoh wayang Petruk dan Gareng yang agak berbeda dengan pakem yang sudah ada. Wayang kreasi baru Sukasman ini lebih menonjolkan ciri khas kedua tokoh punakawan itu. Misalnya, ia lebih menonjolkan kecacatan mata, tangan, dan kaki Gareng. Kegemaran Sukasman mengkreasikan wayang itu masih terus berlanjut saat ia bekerja di Jakarta sebagai dekorator, selepas lulus ASRI pada 1962. Ia bahkan dengan bangga memamerkan gambar-gambar wayang kreasi barunya saat mendapat kesempatan mengikuti World Fair di New York pada 1964. Awal 1965, beberapa bulan setelah pulang dari New York, Sukasman merantau ke Belanda.
Semangat mengkreasikan wayang semakin menjadi-jadi. Ia terus saja membuat gambar-gambar wayang kerasi baru dan menjualnya dari pintu ke pintu. Ia bahkan tak peduli harus menjadi buruh cuci piring di restoran, sekadar bisa bertahan hidup dan membeli peralatan gambar untuk menyalurkan ide-ide kreatifnya. Pada Februari 1974, Sukasman kembali ke Indonesia. Sebulan kemudian, ia mengikuti Pekan Wayang II di Jakarta.
Ia memamerkan sejumlah anak wayang kreasi barunya itu. “Banyak yang mencemooh, tapi ada satu orang yang memuji, yaitu Pak Budiardjo (menteri penerangan yang juga penggemar wayang),” katanya. Sukasman hanya terhenyak saat Budiardjo menanyakan nama wayang kreasinya itu. “Terus terang, saat itu saya tidak pernah terpikir untuk memberi nama wayang buatan saya. Akhirnya secara spontan saya menjawab, ini wayang ukur,” ucapnya. Sejak saat itulah nama wayang ukur melekat pada diri Sukasman.
Sosok wayang ukur sebenarnya tetap mengacu pada wayang kulit konvensional. Sukasman hanya mengubah bagian-bagian tertentu untuk menonjolkan karakternya. Perubahan bagian-bagian tertentu anatomi wayang ini juga didasarkan atas perhitungan teknis pertunjukan. Misalnya, memperlebar bahu dan memanjangkan tangan agar gerak wayang saat dimainkan bisa tertangkap jelas oleh penonton. Perubahan bentuk wayang kreasi Sukasman itu sebenarnya didasarkan atas perhitungan ilmiah.
Sukasman mencontohkan, huruf E jika dilihat dari jauh akan terlibat seperti huruf B. Karena itu, “sosok” huruf E harus “dikuruskan” agar tetap tertangkap mata dengan jelas dari jarak jauh. Pertimbangan Sukasman sangat rasional. Menonton pertunjukan wayang selalu dari jarak jauh. Itu sebabnya, Sukasman perlu memasukkan perhitungan teknis. “Saya hanya mencari ukuran baru dari ukuran yang sudah ada.
Itulah Wayang Ukur,” ujar Sukasman. Tentu butuh dana besar untuk mewujudkan ide-idenya. Padahal ia sama sekali tidak memiliki penghasilan tetap.
Dari mana ia memperoleh uang untuk mewujudkan ide-idenya? Awalnya, kebutuhan uang selalu digelontorkan oleh Winotosastro, kakak kandungnya yang juga seorang juragan batik terkenal di Yogya. Tapi gelontoran dana itu akhirnya terhenti. Kakaknya jengkel karena menganggap pekerjaan Sukasman tidak bermanfaat. Pasokan dana itu kemudian diambil-alih keponakannya, Felix, seorang pengusaha jasa persewaan sound system. “Setiap minggu saya diberi uang Rp 500 ribu oleh keponakan saya itu.
Terserah saya mau digunakan untuk apa uang itu,” katanya. Sukasman juga tidak pernah merasa risau meski wayang ukur-nya jarang diundang pentas. “Kalaupun diundang pentas, itu juga tidak menghasilkan uang, wong selalu saja nombok,” katanya enteng. Pentas wayang ukur Sukasman memang tergolong unik. Ia menggabungkan pertunjukan wayang kulit dengan teater. Panggung pertunjukan selalu dihiasi dengan patung-patung fiberglass ukuran besar hasil kreasinya sendiri. Ia juga memanfaatkan teknik tata lampu, baik dari depan maupun dari belakang layar sehingga pentas wayang ukur bisa dinikmati dalam “format” tiga dimensi, bukan “format” dua dimensi seperti pertunjukan wayang kulit pada umumnya.
Sukasman juga selalu melibatkan para penari dalam setiap pementasannya. Ia juga tidak menggunakan satu dalang, melainkan tiga atau empat dalang. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia. Durasi pentasnya dibatasi hanya dua jam, agar penonton tidak jenuh.
Meski sudah mati-matian memformat pertunjukannya demi menyedot minat anak muda, toh pentas wayang ukur-nya selalu sepi pengunjung. Belum lagi cemoohan yang sering didengarnya. “Sakit hati juga jika mendengar cemoohan.
Namun, saya tetap berusaha menghibur diri. Toh banyak orang lain yang mendapat perlakuan lebih buruk.
Paling tidak saya tidak pernah dilempar telur busuk saat pertunjukan,” katanya enteng. Hingga akhir hayatnya, Ki Sukasman tetap berkarya dan terus melakukan pencarian. Dunia penciptaan wayang begitu mengasyikkannya hingga ia rela tidak menikah. “Sampai saat ini tak kurang dari 400 wayang ukur diciptakan oleh Mas Kasman. Namun, dari 400-an wayang itu, hanya sekitar 15 wayang yang memuaskan hatinya.
Mas Kasman memang terus gelisah, terus melakukan pencarian hingga akhir hayatnya,” kata Sindhunata saat melepas jenazah. KOMPAS Jawa Tengah Sabtu, 13 Juni 2009 10:51 WIB Tidak banyak generasi muda yang tertarik kepada wayang kulit. Wayang kulit selama ini identik dengan generasi lama atau orang tua, kuno, serta Jawa karena bahasa pengantarnya bahasa Jawa yang tidak populer lagi di kalangan generasi muda.
Untuk menarik minat generasi muda, wayang kulit sebagai kesenian tradisional sebaiknya dipertunjukkan dengan sentuhan kreatif. Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang juga pelestari kesenian wayang kulit, Eddy Pursubaryanto, Jumat (12/6), di Kota Semarang, mengatakan, kesenian tradisi harus selalu mengikuti perubahan dan tuntutan zaman agar dapat terus hidup dan bertahan. “Ditonton tidaknya kan tergantung cara membawakannya. Jika tidak dapat berubah, maka sebuah kesenian akan mati,” ujar Eddy yang sering didaulat menjadi dalang. Menurutnya, modifikasi yang membuat pertunjukan wayang kulit berbeda dari biasanya dapat menjadi daya tarik tersendiri.
Untuk itu, unsur kekinian perlu dimasukkan sebagai bagian dari pertunjukan asalkan tidak mengubah substansinya. “Mulai dari musik, kosa kata, bahasa, maupun gaya humor yang terbaru dapat dimasukkan,” kata Eddy.
Rosalia Dini Dwi Nusita (20), mahasiswa Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, mengatakan, wayang kulit dapat menjadi tontonan yang segar jika dikemas secara menarik. “Pertunjukan wayang kulit kan tidak harus dengan bahasa Jawa dan semalaman suntuk, tetapi bisa disajikan dengan cara lain agar tidak bikin ngantuk,” katanya. Kedo Arya Aghasa (20), mahasiswa Unika Soegijapranata lainnya, juga mengakui, banyaknya tontonan seperti sinetron maupun film layar lebar bukanlah menjadi penghalang bagi wayang kulit untuk tetap dilestarikan. “Apalagi, pesan yang disampaikan lakon wayang kulit lebih mendidik dibandingkan sinetron dan film,” katanya. Untuk menarik minat generasi muda terhadap wayang kulit, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (DKPPO) Kabupaten Blora menggagas konsep wayang kontemporer remaja, serta membina dalang cilik dan remaja. DKPPO bekerja sama dengan Paguyuban Dalang Indonesia (Pepadi) Blora rutin menggelar program wayang kulit masuk sekolah “Kami menjalin kerja sama dengan Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk mengemas wayang kontemporer yang diminati semua kalangan,” kata Kepala DKPPO Blora Pudiyatmo.
Pemerintah Kabupaten Temanggung tengah merintis program “Wayang Masuk Sekolah”. Kegiatan ini dilaksanakan dengan mementaskan wayang selama satu jam di sekolah. Di Kabupaten Magelang, pemerintah kabupaten akan menggelar roadshow pementasan wayang kulit ke kecamatan-kecamatan mulai 2010. “Sasaran utama kegiatan ini adalah kelompok generasi muda dan anak-anak yang saat ini semakin jarang melihat pementasan wayang kulit,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Wibowo Setyo Utomo. December 18th, 2005 Kenapa wayang kulit membosankan? Saksono Beberapa saat yang lalu, para pemerhati wayang kulit berkumpul dan berkatarsis bersama-sama.
Cukup menarik memang karena kebanyakan dari mereka mengeluh tentang eksistensi wayang kulit yang kalah dengan sinetron. Salah satu hal yang membuat wayang kulit tidak lagi menarik adalah pertunjukan ini sangat membosankan. Bagaimana tidak, semua pertunjukan wayang kulit nyaris sama persis, ada pakemnya. Sebagai gambaran, semua pertunjukan wayang kulit jawa terdiri tiga pathet (act)1, yang terdiri dari adegan: 1. Patih dan Punggawa rapat dengan Raja 2. Raja ke keputren, lalu disusul lawakan oleh Limbuk & Cangik 3.
Patih dan Punggawa rapat bersama, kemudian seluruh rombongan dari kerajaan berangkat ke suatu tempat 4. Di tengah jalan rombongan kerajaan bertemu dengan musuh, mereka berkelahi, kemudian salah satu kalah 5. Adegan lawakan Gareng, Petruk, dan Bagong. Kemudian mereka menemani sang Satria ke hutan. Di tengah hutan sang Satria bertemu raksasa Cakil dan Bragalba. Terjadi perkelahian sengit walaupun akhirnya sang satria menang (seprise!!).
Semua tokoh muncul dan klimaks mulai terjadi 8. Tokoh antagonis perang dengan tokoh protagonis, dan akhirnya kalah dan mati. Terjadi resolusi. Sebuah masalah muncul disini: pertunjukan wayang kulit dibuat baku sedemikian rupa, sehingga dalang nyaris tidak bisa berkreasi lebih dari itu. Paling mentok, dalang akan mengeksplorasi adegan perang dan adegan lawak, karena kedua adegan itu masih fleksibel. Ketika sesuatu diulang-ulang terus menerus, akhirnya audience akan jenuh.
Dan ketika mereka jenuh, otomatis mereka akan pindah ke hiburan lain. Mungkin kalau diterapkan di jaman sunan-sunan, pakem wayang kulit tidak terlalu menjadi masalah karena frekuensi pagelaran wayang kulit masih jarang. Tapi ketika diterapkan di masa kini ketika sehari dapat diputar dua episode sekaligus, orang akan cepat bosan kalau plot cerita selalu mirip-mirip. Ironisnya, kebanyakan para pemerhati wayang kulit (termasuk dalang), tidak suka ada inovasi pada pola pertunjukan wayang kulit. Ketika wayang kulit dipendekkan dari 9 jam menjadi 4 jam oleh Indosiar, mereka protes.
Program Cerita Wayang Ramayana Bahasa Jawa Krama
Ketika urutan adegan di utak-atik mereka protes juga. Ketika Ki Sukasman membuat Wayang Ukur, mereka mencaci-maki. Wayang kulit sebagai sebuah telur dari kebudayaan tidak seharusnya dikekang dan dibakukan.
Cerita Wayang Bahasa Jawa
Seperti kebudayaan sendiri, seharusnya bisa berkembang dan menyesuaikan zaman. Catatan kaki: Selain plot yang sama terus, ritme perkembangan cerita wayang kulit mengumpulkan konflik, klimaks, dan resolusi pada 3 jam terakhir, kurang lebih grafiknya seperti ini: Otomatis, penonton terpaksa harus menghabiskan 6 jam untuk melihat set-up dari lakon (cerita).